Deretan kasus korupsi seakan tidak berhenti dalam satu dekade bahkan kasus yang sudah lewat beberapa tahun masih banyak muncul saat ini.
Pihak Jaksa Agung ST. Burhanuddin sendiri telah memastikan di waktu dekat kasus dugaan pelanggaran hukum terhadap kontrak pembayaran sewa dari satelit slot orbit 123 derajat bujur timur yang ada pada Kementerian Pertahanan akan masuk ke tahapan penyidikan.
Kasus tersebut sudah terjadi pada tahun 2015 sampai 2016, kemudian pihak Burhanuddin sendiri menjelaskan bahwa Kejaksaan Agung telah mengantongi dua alat bukti untuk bisa meningkatkan status hukum kasus tersebut.
Karena itu pihak kami sudah melakukan penelitian dan pendalaman terhadap kasus tersebut yang sudah mulai mengerucut. Dalam waktu dekat perkara akan masuk ke tahapan penyidikan, ujar Burhanuddin dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Kamis 13/1/2022.
Pihak Jaksa Agung sendiri menegaskan bahwa bukti yang bisa ditemukan telah memungkinkan untuk bisa naik ke tingkat penyidikan. Kemudian pihaknya telah mendalami seperti apa kasus yang sudah terjadi pada tahun 2015 sampai 2016 tersebut.
Belum bisa didapatkan nama-nama yang diduga terlibat dalam kasus tersebut, sehingga total kerugian negara sendiri masih belum dikeluarkan karena masih dihitung secara rinci.
Masalah pendalaman perlu waktu dan proses penyidikan sendiri akan ditentukan sehari dua hari. Kemudian dari sektor kerugian pihak pemerintah juga terus melihat bagaimana hasil final yang diakses dalam BPK ataupun BPKP.
Menko Polhukam Mahfud MD telah memperhitungkan proses penyidikan kasus dan meminta pihak Kejaksaan Agung untuk mempercepat perampungan kasus. Dari seluruh dugaan tersebut negara mendapat kerugian hampir mencapai 1 triliun Rupiah kepada sejumlah perusahaan.
Kemudian dari rincian sebesar RP 515 miliar kepada Avanti Communications Grup, kemudian 20.9 juta dollar Amerika Serikat ataupun setara mencapai Rp 314 miliar kepada Navayo.
Tidak hanya itu karena pemerintah sendiri baru menerima putusan dari Arbitrase Singapura mengenai gugatan Navayo. Sehingga dari putusan tersebut menyatakan bahwa pemerintah sendir harus membayar mencapai 20.9 juta Dollar Amerika Serikat.