INAKINI.COM – Menteri Keuangan Indonesia (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa pendapatan negara hingga 30 April 2022 sudah mencapai Rp 853,6 triliun atau tumbuh 45,9 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Capaian pendapatan negara didukung dari:
- Penerimaan pajak sebesar Rp 676,1 triliun
- Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 177,4 triliun
“Jadi artinya penerimaan negara kita memang menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa tinggi sampai dengan akhir April dan kita perkirakan akhir Mei masih bertahan,†ungkap Menkeu saat memaparkan Kerangka Ekonomi Makro dan Kebijakan Fiskal dan Dana Transfer Daerah dalam RUU APBN tahun 2023 pada rapat kerja dengan Komite IV DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (07/06).
Lebih lanjut, Menkeu menerangkan outlook penerimaan negara sampai dengan akhir tahun 2022 mencapai Rp 2.266,2 triliun atau lebih tinggi Rp 420,1 triliun dari target APBN 2022 yang sebesar Rp 1.846,1 triliun.
“Ini berarti berita baik kalau Indonesia punya pendapatan Rp 420 triliun di atas yang ada di dalam Undang-Undang APBN,†kata Menkeu.
Sementara, realisasi belanja hingga April 2022 mencapai Rp 750,5 triliun yang terdiri dari:
- Belanja kementerian lembaga (K/L) Rp 253,6 triliun
- Belanja non-K/L Rp 254,4 triliun
- Belanja transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) Rp 242,4 triliun
Sri Mulyani menjelaskan outlook belanja negara juga akan meningkat hingga Rp 3.106,4 triliun, dari yang semula Rp 2.714,2 triliun.
Peningkatan belanja digunakan untuk subsidi energi, kompensasi BBM dan listrik, dan tambahan bantuan sosial.
“Ini adalah konsekuensi kalau kita ingin melindungi daya beli masyarakat dengan menahan harga yang melonjak sangat tinggi di seluruh dunia untuk energi dan juga untuk subsidi,†terangnya.
Pemerintah berkomitmen untuk menurunkan defisit pada APBN tahun 2022, sejalan kebijakan konsolidasi fiskal dengan defisit akan kembali paling tinggi sebesar 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2023.
Pemerintah masih tetap ekspansif dengan menjaga keseimbangan antara kemampuan menjaga momentum pemulihan dengan pengendalian risiko fiskal jangka menengah dan mendorong pembiayaan inovatif dengan kerja sama swasta, BUMN, dan Badan Layanan Umum (BLU).
“Karena APBN masih akan menjadi stabilizer alokasi distribusi, maka kita masih menjaga defisitnya masih di 2,61 hingga 2,90 persen dari PDB. Tetap konsolidasi, namun tidak sedrastis kalau kita ingin APBN-nya langsung defisitnya mendekati 0,†ujar Menkeu.
Menkeu menilai konsolidasi APBN adalah salah satu bagian dari cara mengelola agregat demand. Setiap konsolidasi APBN harus disertai dengan pemulihan ekonomi yang makin tinggi sehingga ekonomi dan masyarakat tidak terlalu tergantung pada APBN.
“Kalau ekonominya kuat, rakyatnya kuat, dia tidak terlalu tergantung pada APBN. APBN-nya malah menjadi bisa disehatkan kembali. Pada saat ekonomi melemah, masyarakatnya lemah, APBN masuk untuk menguatkan mereka lagi. Itu yang disebut countercyclical atau sebagai shock absorber,†pungkas Menkeu.