Pemerintah Indonesia menurunkan tarif PPh Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) atas penghasilan bunga obligasi bagi investor domestik (Wajib Pajak Dalam Negeri/WPDN) dari semula 15 persen menjadi 10 persen.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 91 Tahun 2021 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap, yang ditandatangani Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 30 Agustus 2021.
Penerbitkan PP ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mendorong reformasi kemudahan berusaha, menciptakan kesetaraan beban pajak penghasilan antara investor obligasi, serta mendorong pengembangan dan pendalaman pasar obligasi melalui kebijakan pajak.
“Terbitnya PP ini merupakan bukti bahwa Pemerintah terus melakukan reformasi struktural dalam rangka meningkatkan investasi dan produktivitas yang salah satunya dilaksanakan melalui Undang-Undang Cipta Kerja. Sebelumnya, Pemerintah juga telah memberi keringanan tarif pajak bagi investor asing,†ungkap Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Kacaribu, dikutip dari laman resmi Kemenkeu, Senin (6/9).
Adanya keringanan pajak bagi WPDN diharapkan akan meningkatkan peran investor domestik ritel. Per 31 Agustus 2021, komposisi investor domestik ritel (individu) pada pasar Surat Berharga Negara masih kecil, yaitu 4,5 persen, bila dibandingkan dengan bank 33,4 persen, asuransi dan dana pensiun 14,5 persen, serta asing 22,4 persen.
Investasi yang besar dibutuhkan dalam pembiayaan pembangunan. Berdasarkan RPJMN 2020-2024, pembiayaan kebutuhan investasi diupayakan dengan pendalaman sektor keuangan baik bank maupun nonbank, antara lain melalui peningkatan inklusi keuangan, perluasan inovasi produk keuangan, pengembangan infrastruktur sektor jasa keuangan, dan optimalisasi alternatif pembiayaan.
“Meningkatnya partisipasi investor baik dalam maupun luar negeri dalam pasar obligasi pada gilirannya akan membuat pasar keuangan semakin dalam. Sehingga, akses pembiayaan sektor keuangan bagi dunia usaha semakin terbuka dan alternatif pembiayaan nonAPBN bagi pembangunan semakin bertambah,†pungkas Febrio.